Rabu, 23 Juni 2010

NASKAH DRAMA DESSI HERLINA

1.
CITRA

Dalam bagian pertama di kisahkan Harsono baru datang dari kota dan tak betah keadan di pabrik tersebut. Citra seorang anak pungut, bekerja sebagai seorang pegawai di kantor tesebut. Disamping itu juga, seorang ahli music sedang berkunjung ke pabrik itu. Imran namanya.Sutopa sedang bercakap-cakap dengan citra mengenai Nyonya Surio, Imran masuk.
Imran : Selamat pagi tuan Sutopo, Nona ?
Sutopo : Ah, tuan Imran sudah kemana-mana hari ini ?
Silahkan duduk.
Imran : Sudah jauh perjalanan saya, Tuan. Tetapi yang paling saya senangi ialah di pabrik. Di tengah-tengah pekerja yang sedang sibuk, mendengar mesin berdengun. Saya berterima kasih sudah dapat kesempatan beberapa lama tinggal disini.
Sutopo : Saya pun gembira tuan datang ? Tuan setiap waktua akan kami terima di sini dengan tangan terbuka. Pagi-pagi benar saya dengan anak-anak sudah bernyanyi dengan gembira pula.
Imran :Saya hari ini mau pamitan.
Sutopo : Kapan anda mau pulang ?
Imran : Besok, kewajiban lain menanti.
Sutopo : Saya berharap tuan juga datang-datang kemari. Tetapi,saya ingin menyampaikan sebuah tanda mata sebelum tuan pergi (kepada citra )Dik,tolong mintakan kertas musik yang kusuruh cetak dulu kepada mandur ( citra keluar )
Imran : tuan membuat kertas musik disini (matanya menurutkan citra)
Sutopo : Ya, dari hasil kami yang pertama, sya suruh bikinkan kertas musik. Karena,saya sendiri gemar main piano dan adik saya kadang-kadang menyanyi.
Imran : Nona itu adik tuan ?
Sutopo : Sebenarnya bukan adik, tetapi anak pungut adik saya. Mula-mula dipungutdari seorang mandur tua disini,ketika sudah besar sedikit dipelhara ibu saya.
Imran : Begitu? Siapa namanya, kalau saya boleh bertanya ? sebab maaf Tuan,ada sesuatu raut mukanya yang menarik perhatian saya.
Sutopo : Aneh sebenarnya, kami tidak tahu siapa namanya yang sebenarnya. Pak Andi yang pertama mendapatkan dan menamakan dia “Citra “ dan hingga sekarang ia kami panggil “citra “
Imran :(Tertawa) Pak Andi ? yang selalu asam mukanya jika saya masuk pabrik ? (sejurus mereka dia, kemudian perlahan-lahan)Citra, aneh nama itu.
Sutopo : Apa kata tuan ?
Imran : Citra,layak benar bagi orang yang memakainya.Saya tidak sanggup membayangkan adik tuan, dengan nama lain…………citra tepat sekali ? tadi pgi- saya berjalan-jalan di tengah kebun kapas. Fajar baru menyingsing saya terpesona oleh pemandangan seindah itu. Kebetulan sekali, saya melihat adik tuan turun ke kali, tubuhnya berciderah dengan langit merah di belakang. Pada waktu itu ada yang hendak lepas dari jiwa saya. Seolah-olah tubuh adik tuan datang kepada adik saya, timbul dari fajar yang sedang menyingsing itu. Citra ? Memang itulah nama lagu yang sudah saya karang. Citra, wajar fajar sedang menyingsing mengenyahkan gelao….aneh,tetapi pada waktu itu teringat saya kepada Indonesia tanah air kita.
Sutopo : Dengan sungguh-sungguh mendengarkan cesita imran )
Barangkali tanah air sedang menghadapifajar menyingsing pula.
Imran : Ya, ya itu dia.
Sutopo : Aneh juga kalau begitu ……….tetapi boleh saya melihatnya sebentar Tuan ?
Imran :( Memberikan sebuah rol kertas ). Akan saya nyanyikan sedikit kepada Tuan. ( ia memulai menyanyi kecil sutopo membaca )
Sutopo : Ada sesuatu dalam lagu ini buat saya. Aalngkah garangnya saya jika tuan sudi meninggalkan lagu ini buat saya, akan memberi tenaga gaib rasanya.
Imran : Memang tadinya akan saya berikan kepada tuan, istimewa kepada Tuan ?
Sutopo : Istimewa buat saya ?
Imran : Istmewa buat Tuan, seruan kepada saya .
Sutopo : Seruan kepada Citra, Terima kasihTuan, terima kasih (masuk citra dengan kertas memberikannya kepada sutopo)
Sutopo : (Sambil memberikan kepada Tuan )Terimalah ini, Tuan.tanda penghargaan kami di sini.
Imran : Tiap kali saya menulis di atas kertas ini, saya tentu akan teringat kepada Tuan dan kepada Nona Citra ? Permisilah saya sekarang. Besok sebelum berangkat, saya akan mampir lagi sebentar. (ia keluar )
Sutopo : (Memandang Citra ) Dia telah membukakan sesuatu dalam hatiku
Citra : ( Melihat rol kertas di tangan sutopo) Apa itu mas ?
Sutopo : Lagu ? ( Masih termenung tampaknya )
Citra : Lagu apa ?
Sutopo : Lagu buat engkau dan aku ?
Citra : Apa namanya ?
Sutopo : Citra
Citra : Citra ? di karang tuan Imran itu ?
Sutopo : Ya …Citra.herankah engkau, jika seorang seniman mengarang lagu ini sesudah memandang engkau ? Aku buta selama ini, betul juga kata ibu tadi.
Citra : Mas buta ? bagaimana ?
Sutopo : tidak melihat Citra ? tidak melihat keindahan di sekelilingku. Aku tidak sempat mendengarkan pada yang berkata-kata dalam hatiku selama ini
Citra : Ah mas, main-main saja ini. Tetapi bagaimana lagunya ?
Sutopo : Nanti di rumah ada piano ? ( tersenyum, berolok-olok ) sekarang waktu kerja.
Citra : mas pintar membuat aku ingin tahu.
Sutopo : (Mengalak) Aku menemani ibu sebentar, melihat pembikinan kertas itu nanti banyak jerami lagi ? ( ia keluar sejurus citra termenung, agak bingung tampaknya, kemudian masuk sekarang bekerja ).

2.
PETANI TELADAN DI DESAKU

Suasana di rumah, di ruang tamu yang sederhana hanya ada empat kursi tua dan meja.
Pak Anton : seorang petani tranmigran yang berhasil, pulang ke desanya, menjemput orang tuanya untuk diajak ke tempat tinggalnya. Umur 35 tahun, berperawakan segar.
Pak Budi : Seorang tukang ojek, pulang dari Jakarta, karena pembersihan motor ojeknya. Umur 37 tahun, badan agak kurus, tampak lelah, sinar mata kosong.
Bu Budi : Istri pak Budi, umur 34 tahun. Pada wajahnya terlihat garis-garis kemelaratan.
Adi : Pemuda gagah, berperawakan besar, sedikit acuh tak acuh terhadap lingkungan. Umur 23 tahun, bergaya-gaya kekota-kotaan.
Fikri : Anak pak gudel. Umur 17 tahun. Cengeng dan kekanak-kanakan.

Adi duduk agak jauh dengan pak Budi, memakai kaos bergambar Mike Tyson, bersepatu olahraga, berikat kepala, dan duduk sambil menggigit tangkai korek api. Latar belakang terdengar suara orang menawarkan balon berbunyi tet…...,tet…..., semakin lama semakin menjauh.
Fikri : “Bu……,belikan balon….!cepat…..!”( menangis merengek-rengek).
Bu Budi : ( Tidak bergeming, meneruskan pekerjaannya mengupas singkong).
Fikri : ( Masuk ke rumah menghampiri ibunya, kemudian menuju pintu melihat penjual balon, khawatir semakin jauh).”cepat Bu….!”( menangis lagi).
Bu Budi : (Bangkit dari tempat duduk lalu mengambil kayu kecil di dekatnya, kemudian…)”ini yang kamu minta, heh…..,heh….,kurang ajar minta balon segala!”(tiga kali kayu kena punggung. Anak sambil menangis berlari keluar ).”Tuh….anakmu! kerja, pak, kerja….! Jangan duduk-duduk saja. Ingat ! Beras habis, uang ludes! Mau makan apa kita nanti, pak, coba piker ? jangan seperti Adi ….Dia lain pak!”
Pak Budi :” Mau juga dapat kerja. Tapi bagaimana ? saya hanya bisa ngojek saja.
Bu Budi :”Kerja kan tidak hanya ngojek saja, membantu mencangkul di kebun Bu Eli kan juga dapat upah!”
Adi : Jangan, Kak! Gengsi kita! Masa dari Jakarta, kembali ke desa, malah menjadi buruh tani, mencangkul lagi! heh….ketika pulangsaja kita carter mobil pribadi. Akan ditaruh di mana muka kita, kak?”
Bu Budi : “Itulah, makan saja sehari sekali, terkadang sampai tiga hari tidak makan, pakai carter mobil pribadi segala!”.( sambil mencibir).”Ingat, kak! Adi itu belum punya istri, apalagi anak, bisa saja diam, main ke mana saja dia mau! Tapi kamu, anak saja sudah lima.”
Pak Budi : “Maunya juga begitu . gara –gara digusur itulah kita tidak dapat pekerjaan.
Bu Budi : “Heh, dari kecil sampai tua kerja di Jakarta, mana buktinya ? pulang kampong tidak pernah bawa uang. Alasannya lagi sepi, entah kecopetan ! meniru jejak Adi, bisa-bisa kita jadi kere nanti !”(tamu datang, Pak Anton)
Pak Anton : “Selamat sore mas Budi!”( agak tergopoh-gopoh tuan rumah menyambut tamu).
Pak Budi : “Bapak mencari saya?”
Pak Anton : “Ya, tentu saja! Sengaja saya datang kesini .”(tangan pak Anton menjabat tangan Pak Budi dan menjabat pula tangan Adi dan Bu Budi).
Pak Budi : “Saya tidak akan lagi kembali ke Jakarta dan motor sudah saya kembalikan, Pak.”
Bu Budi : “Suami saya jangan dibawa ,Pak! Anak saya masih kecil-kecil! Tolong saya, pak!”( suara mengiba).
Pak Anton : ( Heran,semakin tidak tahu maksudnya. Sementara Adi semakin cemas dan tidak tampak gagah lagi).”Sebentar bu budi dan pak budi ! saya menjadi tidak mengerti semua ini!”
Pak Budi : “Bapak ini petugas dari Jakarta ?”
Pak Anton : “Jadi …..pak budi dan bu Budi menganggap saya pegawai ibu kota, begitu?’
Bu Budi : “E…..,e….jadi…..!”(ragu-ragu).
Pak Anton :” Rupanya pak Budi dan Bu Budi ini sudah tidak mengenali siapa saya lagi.”
Adi : ( agak ragu-ragu).”Bapak ini bukan petugas dari Jakarta?”
Pak Anton :”Saya tidak hanya dari Jakarta, melainkan petugas petani dari Palembang. Saya seorang petani tulen. Petani tranmigran!”
Bu Budi : “Ini Dik……?”
Pak Anton :” coba tebak, siapa saya?”
Pak Budi : “jangan main-main”
Bu Budi : “Dik Anton, ya?”
Pak Anton : “Iya….Tepat!”
Pak Budi :” Benarkah ini Dik Anton?”
Bu Budi :”Sekarang seperti pak lurah saja ya, kak ! Kapan dik anton datang ?”
Pak Anton :”Tadi malam bu Budi, pukul 3.00, naik bus garuda mas. Adik ini siapa?”
Adi :”Saya Adi, anak pak mamat, paman!”
Pak Anton :”sudah sebesar ini anak kak Mamat.”
Pak Budi :”Duduk-duduk, dik! Lupa menyuruh duduk. Dik Anton makmur sekarang.”
Pak Anton :”Berkat doa pak Budi, beginilah adanya”.
Pak Budi :”Adi, Dik Anton ini dulunya juga tukang ojek. Dulu teman saya .kemudian ketika ada program transmigrasi tujuh tahun yang lalu dia ikut, tetapi saya tidak mau”.
Adi :”Begitu, Paman!”
Bu Budi : “Iya Adi, pamanmu yang tidak mau ! seandainya kita dulu ikut, mungkin tidak mengalami nasib seperti ini !”
Pak Anton :”memngnya sekarang mengalami nasib seperti apa mbak ?”
Bu Budi : “Itulah, dik! Kak Budi sekarang tidak bisa ngojek lagi. Akan menjadi buruh tani di sini malu. Dari dulu kita sudah dianjurkan untuk bertransmigran tapi dia tidak mau”.
Pak Budi :”Bagaimana mau ? di sini masih hutan, banyak ularnya, membuat kita takut. Bukankah begitu, Dik?”
Pak Anton :”Benar atau tidak. Kalau perkara hutan memang disana lebih banyak dibandingkan disini. Justru karena lebih banyak berarti sudah banyak tanah yang digarap untuk disulap menjadi sawah, kebun dan lain-lain. Tentang ular saya kira pasti ada.
Pak Budi :”Tapi disana masih banyak orang makan daging?”
Adi :”Iya, Paman”
Pak Anton :”Memang di san banyak orang makan daging, disini juga ada!”
Pak Budii :”Tidak ada, Dik!”.
Pak Anton :”Itu warung mbak Lativa, dia jual sate ! bukankah itu daging?”
Pak Budi :”maksud saya makan daging manusia”.
Pak Anton :”Kak,kak! Seperti anak kecil saja.bayang-bayang cerita zamanBelanda masih dibawa-bawa. Di sini juga ramai seperti di sini. Puskesmas hanya beberapa kilometer saja. Jalan-jalan di desa juga sudah banyak yang diaspal. Namun yang lebih penting bahwa tanah garapan di sana masih luas. Lebih-lebih tanah yang saya tempati, cocok untuk ditanami karet”.
Bu Budi :”Itu Mas dengarkan! Jangan percaya cerita Adi saja belu pernah pergi ke sana”.
Adi ;”saya juga hanya mendengar ceritanya saja, Di sana katanya mengerikan”.
Pak Anton :”ini saya bawakan oleh-oleh dari hasil kebun sendiri,pisang!”
Bu Budi :”Jadi di sana juga ramai. Dik?”
Pak Anton :” Begitulah mbakyu, soal ramai dan tidak ramai, ada hiburandan tidak ada hiburan itu tidak penting bagi saya. Yang penting adalah bagaimana mempunyai bekal hidup hidup yang cukup, sehingga dapat menyekolahkan anak-anak dan anak-anak saya kalau bisa jangan putus sekolah.
Bu Budi :”Betul,Dik! Tadi Fikri, anak saya yang minta balon saja malah saya beri cambuk”.
Pak Anton :’Yang penting mas Budi. Di sana harus mau hidup, agar bisa tetap hidup harus ,mau kerja keras, semuanya demi anak”.
Bu Budi :”Dik Anton masih juga suka melucu”.
Pak Anton :”Dik Anton masih lama di sini?”
Pak Anton :”Ada apa ini?”.
Pak Budi :”Maksud saya kalau nanti tekad saya bulat, saya akan minta tolong pada dik Anton”.
Pak Anton :”Mau ke sana maksudnya ?”
Pak Budi : “Iya”.
Pak Anton ;”Selesai berkirim doa untuk almarhum Ayah, saya pulang. Ibu akan ikut juga daripada di sini merepotkan tetangga. Mungkin dua atau tiga hari lagi saya pulang. Nanti mas Budi akan saya bantu, tapi dia harus sanggup bekerja”.
Pak Budi :”Terima kasih,Dik!”
Pak Anton :”SEkarang saya mohon pamit, persoalan ini nanti akan saya sampaikanke pak lurah, biar lebih baik!”.
Bu Budi :”Aduh dari tadi cerita saja, tidak diberi minuman !”
Pak Anton :”Tidak usah, yang penting kita tetap dilindnginya ! mohon pamit, mas dan mbakyu. Dik.”( Pak Anton bersalaman kemudian pulang).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar