Rabu, 23 Juni 2010

CERPEN KAROLINA r_r

1.
CINTAKU DI BOM WAKTU

Sang mentari mulai semakin meninggi, sejajar tepat di atas kepala setiap insan yang bernyawa. Namun siang itu tak terasa membakar lapisan kulit, dan itu karena keberadaan angin yang membelai halus untuk kemudian terasa menyejukkan sanubari. Aku duduk di salah satu bangku panjang yang telah hampir pudar warna catnya. Mungkin karena pengaruh cuaca cat hijau muda itu begitu pucat dipandang mata. Kugoreskan rangkaian kalimat pada lembaran-lembaran diary milikku.
“Hati tempat jatuhnya pandangan Allah, jasad lahir tumpuan manusia. Utamakanlah pandangan Allah daripada pandangan manusia.”
Kuulang berkali-kali kata per kata torehan tinta merah itu. Maknanya begitu dalam buatku. Memang kalimat itu bukan dari inspirasiku. Namun ku sangat menyukainya hingga kuabadikan dalam data-data pribadiku.
Bola mataku begitu tertarik saat memandang para akhwat yang berlalu-lalang di hadapanku. Mereka satu kampus denganku, hanya saja beda jurusan. Entah apa saja aktivitas mereka hari ini. Tapi yang pasti ada sesuatu yang membuatku sanggup meniti seperti keadaan mereka. Aku ingin memiliki wajah seperti itu. Wajah-wajah seperti mereka yang terbingkai jilbab nan teduh. Seperti rangkaian kata yang kugores tadi, mengisyaratkan aku untuk memantapkan hati agar aku segera melaksanakan kewajiban sebagai takdir seorang perempuan yang utuh. Tapi kemantapan hati itu nyaris luntur hanya karena penolakan ayahku yang tak suka aku dibungkus tiap helaian kain dari ujung kepala hingga ujung kaki kecuali telapak tangan dan raut wajah itu...
“Ayah, Arumi ingin menunaikan tugas Arumi sendiri. Arumi ingin berjilbab, ayah...” tuturku malam itu, saat ayah sedang menikmati suasana santainya di ruang tamu.jujur saja, aku begitu cemas menunggu jawaban ayahku. Ini telah kutanyakan pada ayah sebelumnya. Namun beliau begitu dingin menanggapinya, hingga tak kuasa aku mengulanginya lagi. Tapi kali ini beda ! Aku meninginkan hak itu!
“Arumi!” ucap ayahku seakan membentak diriku, “Sudah ayah katakan, jangan kau bahas itu lagi ! Ayah tak suka kau menuruti nafsumu. Tidak akan pernah !”
“Tapi ayah, ini hak Arumi...”
“Hakmu?! Mengerti apa tentang hal semacam itu?! Kamu masih jadi tanggung jawab ayah. Jadi, appaun keinginan ayah, kau tak berhak mengacaukannya !”
“Tidak ayah, Arumi ingin ayah mengerti. Arumi ingin turuti kemauan Arumi sendiri...”
“Tidak! Kalau kau terus membangkang, silahkan angkat kaki dari rumah ini! Ayah tak sudi lagi untuk membiayai kuliahmu kalu kau tetap pada pendirianmu yang bodoh itu!”

Hardikan ayah itu membuatku gemetar. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Yang kulakukan hanyalah menangis, menangis, dan menangis. Tak sanggup mendengar kata-kata ayah yang membuatku benci itu, aku pun lantas berlari ke ruang kamarku.
Kugeledah barang-barang, pakaian-pakaian, alat-alat, dan segala keperluanku. Kuboyong semua ke dalam koper hitamku. Saat itu juga aku masih dalam kesedihanku. Aku seret koper besarku keluar dari kamar. Amlam itu juga aku pergi. Mungkin rumah ini kupijakkan terakhir kalinya. Kutemui ayah yang masih terpampang di runag tamu.
“Ayah, jika ayah menginginkan itu, Arumi rela. Arumi angkat kaki sekarang ini juga. Arumi harap, suatu saat ayah mengerti, bahwa inilah kebahagiaan Arumi itu...” ucapku pada ayah. Ayah mendekat. Lalu...,
“Plaaak!!!” Tamparan ayah mendarat di pipi kananku. Bekasnya menerbitkan rasa pedih bagiku.
“Anak tak tahu balas budi! Enyah kau dari sini!” Guntur ayahku memecahkan kesunyiaan malam itu. Dua orang pembantu di rumah hendak menolong keadaaanku. Namun mereka tak bisa. Mereka tak punya hak untuk ikut campur masalah yang menimpa majikannya.
Kemudian, tanpa menghiarukan kata-kata ayah, aku beranjak pergi.
“Assalamu’alaikum, ayah...” salamku pada ayah. Namun ayah diam sambil terus menatapku dengan raut muka yang terasa membunuh batinku.
Di malam yang terasa dingin itu, aku masih dalam kebimbangan. Aku harus kemana? Tidur di mana untuk malam ini? Atau..., tiba-tiba aku terhuyung. Pandangan mataku berkunang-kunang. Langkah kaki terasa berat bagiku. Aku mencoba berpegang pada salah satu tiang yang berdiri di sebuah toko butik yang telah ditutup oleh pemiliknya. Namun pegangan tangan itu seolah-olah rapuh. Aku pun jatuh. Tak bisa kuingat apa-apa lagi saat itu....
“Kau sudah sadar, Arumi?” tanya seorang pria yang duduk di tepi tempatku berbaring. Yang kulihat saat itu masih terasa kabur, segalanya masih kurang jelas dari apa yang ada di hadapanku. Sang pemilik suara itu begitu aku kenal. Wajahnya pun bisa aku tebak.
“Noe...?” tanyaku seolah-olah tak menghiraukan pertanyaan laki-laki itu.
“Ya, ini Noe. Gimana? Sudah mendingan keadaanmu sekarang? Ucapnya lagi.
“Aku tidak apa-apa. Badanku terasa ringan sekarang.”ucapku bohong”. Terus bagaimana aku bisa disini? Tempat apa ini?” tanyaku kemudian.
“Syukurlah kalau kamu sudah sehat kembali. Kamu itu pingsan semalam. Karena kamu pingsannya di depan butik milik ibuku, dan saat itu juga aku melihat kamu tergolek di sana, aku langsung membawamu pulang ke rumahku ini.” Jawab Noe.
Sejak saat itu, aku tinggal di rumah Noe, teman baikku di kampus. Aku telah menceritakan kepada Noe dan ibunya sebab-musabab aku pergi dari rumah. Saat itu, aku berkeinginan untuk tinggal di rumah lain saja. Ya, daripada aku harus merepotkan kehidupan Noe. Aku hanya tinggal beberapa hari di rumah yang cukup mewah itu.
“Noe ..., aku telah merepotkanmu dan ibumu. Boleh aku menetap di rumah lain saja? Adakah tempat itu untukku, Noe?” pintaku saat itu pada Noe, saat berada di perpustakaan kampus kami.
“Untuk apa kau pusing memikirkan hal itu? Apa kau tak suka tinggal di rumahku?”tanyanya penuh selidik.
“Bukan itu, Noe. Kamu tau kan, kita ini bukan satu mahram. Aku dan auratku telah ditutupi oleh pakaian-pakaian terhormat bagiku. Dan pakaian-pakaian yang kebanyakan dari butik ibumu itu telah membuatku tunduk untuk lekas pergi dari rumahmu itu. Apa kau pikir pemberian dari ibumu akan kunodai dengan keberadaanku di tempat tinggalmu itu? Tidak, Noe. Aku tak akan sanggup untuk itu... Aku harus pergi.....”
Noe hanya diam. Dia sepertinya mengerti keinginanku. Dan kata terakhir dari pertemuan itu kemudian membuatku lega. Noe mengabulkan.
Rumah petak yang telah lama tak dihuni oleh pemiliknya, berada di ujung jalan dari rumah Noe menjadi tempat tinggalku. Rumah ini cukup terjangkau harganya dengan saku anak kuliahan sepertiku. Beruntung aku masih punya sejumlah tabungan dari ATM pribadi. Jadinya aku bisa menempati rumah ini, mungkin untuk sementara waktu. Sebenarnya Noe memintaku untuk tinggal di sebuah rumah yang jauh lebih bagus dari rumah kecil itu. Namun aku menolak maksud baiknya. Aku tak ingin berhutang budi lebih banyak lagi pada Noe. Dia pun menerima penolakan halusku itu.
Rumah sewahan itu telah kutempati berminggu-minggu. Rumah sewa itu didapati dari Noe sandiri. Saat waktu senggang, Noe kerap kali datang menemuiku ke tempat rumah sewa itu. Ya sekedar ingin tahu keadaan diriku. Mengetahui aku sering sakit-sakitan, jadinya dia terlalu mengkhawatirkan kesehatanku.
Berbulan-bulan lamanya aku tak mendengar kabar ayah lagi. Kupikir dia telah membuangku dari kehidupannya. Tapi..., ah! Aku merasa kangen juga sama ayah. Biar bagaimanapun juga dia itu ayah kandungku. Satu-satunya orang tua yang aku miliki. Saat aku dalam kesendirianku siang itu, kembali kepalaku mendadak pusing. Kudapati darah segar dari kedua lubang hidungku. Aku mengusap dan berusaha menghentikan aliran darah itu dengan daun sirih seperti yang diajarkan oleh ibunda Noe.
“Ya Allah, darah ini lagi... Darah...! tolong aku, ya Allah....” ucapku cemasku hendak berdiri untuk mengambil obat dari laci meja riasku. Namun, belum sempat kumenelan obat berharga itu, aku pun lunglai untuk kemudian tak sadarkan diri...
Aku merasakan di ruangan yang tak asing lagi bagiku. Kucium ruangan yang berbau obat-obatan, mual rasanya buatku. Kudapati sosok tubuh yang menjadi panutanku dari lahir, Ayahku. Entah dari mana dia tahu keberadaanku saat itu.
“Ayah..., betulkah di hadapanku ini ayahku...?” ucapku susah payah. Mulut ini rasanya sulit untuk berkata. Namun kupaksakan untuk selanjutnya mendengar suara ayah yang telah lama tak aku dengar.
“Ma’afkan ayah, Arumi. Ma’afkan ayah, nak...” balas ayahku seraya menggenggam tangan kananku. Ayah pun tak kuasa menahan tangisnya.
“Ma’af untuk apa, ayah...? Ayah tak punya salah pada Arumi, anak ayah sendiri...” kataku padanya.
“Ayah telah menelantarkanmu sebagai seorang anak. Ayah benar-benar minta maaf atas kesalahan ayah dahulu...” Aku tersenyum membalas tatapan ayah.
“Arumi..., kenapa kau tutupi penyakit malangmu ini dari kami? Ayah tak sanggup melihat keadaanmu seperti ini. Sejak kapan kau dijangkiti kanker otak ini, Arumi...? sejak kapan...? “tanya ayahku, masih menangis dan memegang erat tanganku.
“Ayah, Arumi sehat-sehat saja kok. Ayah jangan khawatir.” ucapku, mencoba membuat tenang ayahku.
“Tidak! Ayah menemui lembaran ini, hasil pemeriksaan dari dokter kalau kau mengidap penyakit ganas ini. Ayah temui itu dari Noe. Noe yang mengantarkanmu ke rumah sakit ini. Dan bukti ini Noe dapati dari laci meja riasmu.” Kata ayah sambil menunjukkan amplop coklat berukuran besar yang berisi hasil pemeriksaan dari dokter yang kuperoleh 2 minggu lalu.
Aku diam. Kutatap dalam-dalam ayahku. Noe yang berada di damping ayahku hanya bisa menyembunyikan kesedihannya. Mungkin tak mau dirinya rapuh di hadapanku. Jilbab merah muda bermotif bunga melati melekat di kepalaku. Baju dan celana panjang yang senada dengan warna jilbabku kupakai saat itu. Aku semakin tak kuat. Nafasku terasa terhenti, kesempatan jantungku untuk berdetak perlahan-lahan tak ada lagi. Aku tahu, kesempatan waktuku untuk hidup seolah-olah menjadi bom waktu bagiku. Sempat kudengar pecahan tangisan Noe dengan menyebut namaku setelah sekian menit dalam diamnya itu. Aku hanya bisa sanggup meninggalkan ucapan yang aku turuti dari kata-kata ayah. Dua kalimat syahadat yang dilafazkan dari mulut ayahku, mengantarkan aku dengan penuh ketenangan. Telah kutunaikan dalam menjaga auratku pada kesempatan itu. Aku bahagia dalam cinta hakikiku itu.




2.
MA'AFKAN AKU

Di ruang kerja, Damar masih berkutat dengan laptopnya. Dia memandang berkas-berkas penting dengan raut muka yang kusam.
“Agh! Kenapa semuanya jadi begini?” Gerutunya malam itu.
“Ada apa, mas? Aku perhatikan dari tadi, mas marah-marah terus bawaanya. Ada yang salah sama kerjaanya, hem?” Tanya istrinya sambil membelai rambut suami tersayangnya itu. Damar menoleh dan dia pun berkata,
“Ga ada apa-apa. Sudahlah…, kamu tidur aja sana! Ga perlu khawatirkan aku….”
Nayla , istrinya terdiam sejenak. Sepertinya dia sedikit tersinggung dengan ucapan Damar. Dia merasa tak dianggap . Tapi, Nayla berlalu dan berusaha meredam egonya.
Tak hanya satu atau dua kali Damar bersikap seperti itu pada istrinya. Tapi berulang kali. Ya, sejak ia berkerja di sebuah perusahaan ternama di Yogyagkarta, sikap Damar berubah. Dia arogan, kerap tak kuasa menahan egonya, tak memperhatikan lagi keadaan istrinya, dan semua itu terjadi hanya pada istrinya.
Keesokan paginya….
“Mas…, sarapan dulu ya…” Ajak Nayla pada Damar.
“Biarlah. Ga usah,Nayla…. Mas sarapan di kantor aja. Mas pergi dulu ya….” Pamit Damar tanpa pernah lagi mencium kening Nayla seperti biasanya. Dan Nayla hanya bisa mengurut dada.
Di kantor, Damar langsung menemui Bosnya. Dia telah membayangi betapa sangarnya beliau jika telah tahu itu….
“Permisi, Pak….” Ucap Damar.
“Ya masuk.” Balas Mahardi, Bosnya.
“Ada apa?” Tanyanya kemudian.
Damar diam sejenak. Pak Mahardi sedikit mengkerutkan dahinya melihat ketakutan di wajah Damar.
“Hem…, anu Pak. Ber… berkas yang kemarin kita ajukan pada pemegang saham utama itu…, ehm… hilang Pak….” Suara Damar gemetar.
“Apa kamu bilang?! Hilang?! Seenaknya saja kamu bilang hilang? Kenapa bisa begitu Damar?” Ucap pak Mahardi dengan nada tinggi.
“Entahlah, Pak…. Semalam saya buka filenya untuk kemudian saya print. Tapi, sekali lagi saya minta ma’af. Filenya hilang tanpa bekas, pak….” Kata Damar dengan suara gemetar, tampak jelas ketakutan di wajahnya saat itu.
“Damar, mulai saat ini kau kutugaskan untuk kerja lembur, sampai berkas itu selesai besok pagi. Kalau tidak, otomatis kau kupecat Damar!” Ancam pak Mahardi.
“Tapi pak….” Potong Damar.
“Tidak! Kali ini aku tegaskan padamu Damar. Pemegang saham utama itu adalah Bapak Najiburrahman. Dan kau tahu kan, bila berkas penting itu belum kau presentasikan kepada beliau, itu artinya semuanya rusak! Termasuk kau Damar! Kita semua terancam musnah dari pekerjaan ini…. Berkas itu penting untuk diajukan sebagai bukti. Pikirkan itu Damar!” Kata pak Mahardi dengan masih menampakkan wajah amarahnya.
“Baik pak. Kalau itu yang bapak inginkan, saya kerjakan dari sekarang.” Kata Damar pasrah. Ia tak bisa berbuat apa-apa, karena dia tak mempunyai hak untuk marah pada atasannya itu. Toh, ini salahnya juga, pikirnya.
Damar melangkah lunglai menuju ruang kerjanya. Berkas atau laporan itu tak sedikit untuk dibuat dengan rapi. Dan itu pun dipresentasikan pula olehnya besok hari. Pukul 15.00 sore barulah Damar bisa beristirahat sejenak untuk mengisi kekosongan perutnya. Ia makan dengan ditemani Anggita.
“Masih banyak kerjaanmu, mar?” Tanya Anggita teman sekantornya.
“Begitulah, ta….” Jawabnya.
“Aku bantu kamu boleh?” Tawar Anggita.
“Ah, ga usah. Ini tanggung jawabku sendiri. Kamu tak perlu bersusah payah membantu aku….” Ucap Damar.
“Istrimu tahu kalau malam ini kamu lembur?” Tanyanya lagi.
“Sepertinya tidak. Kenapa?” Kata Damar.
“Ga. Hanya ingin tahu aja.” Ucap Anggita.
Ada senyum mengembang tampak di wajah Anggita. Entah apa maksudnya. Damar tak bisa menebak semua itu.
Ponsel Damar berdering. Damar ragu untuk menjawab panggilan itu.
“Siapa mar?” Tanya Anggita.
“Nayla.” Jawab Damar.
“Jawab saja. Panjang umur istrinya itu. Baru aja ditanyain.”
Kemudian….
“ Hallo.” Ucap Damar.
“ Mas…, pulang jam berapa hari ini?” Tanya pemilik suara di ujung sana.
“Lembur. Jadi tak perlu kamu menunggu aku lagi. Besok siang aku pulang.” Jawab Damar.
“Kenapa lembur mas? Bukankah ini hari Sabtu? Biasanya mas pulang lebih awal dari biasanya kalau hari Sabtu seperti ini….”
“Sudahlah…, jangan banyak tanya. Aku baik-baik saja. Kamu hati-hati saja di rumah.”
Panggilan pun terputus….
“Loh, kenapa kamu matikan langsung mar? Tanya Anggita.
“Ya sudahlah. Aku kerja lagi. Kamu mau pulang ta?”
“Ya.”
“Ma’af, aku tak bisa mengantarmu.”
“Ga apa-apa. Aku duluan ya mar…. Semoga lekas selesai kerjaanmu hari ini.”
Damar pun hanya tersenyum dan berucap,
“Terima kasih.”
Pukul 21.22 Damar masih berkutat dengan kerjaannya. Dia hanya ditemani oleh dua orang security di kantor itu. Itu pun mereka bertugas berjaga di luar. Saat itu pula ponsel Damar berdering lagi. Damar merejectnya, kemudian menonaktifkannya. Ia tak mau diganggu siapa pun juga.
Pukul 00.33, seseorang datang dengan penuh kepanikan. Dia Pradipta Ningsih, teman baik istrinya yang juga berdekatan dengan rumah mereka. Pradipta masuk ke ruang kerjanya dengan ditemani satu orang security.
“Mar, kau harus pulanh sekarang….” Kata Pradipta dengan suara gemetar.
“Kenapa? Kau bersama istrikukah datang ke sini?”
“Ga. Dia… dia sekarang di rumah sekarang mar….”
“Ha?! Nayla kenapa? Dia sakit? Ah, kalau itu bohong. Dia sehat-sehat saja kok hari ini….”
“Damar, dia itu mencoba bunuh diri….”
Damar terdiam. Pradipta hanya bisa menarik tangan Damar untuk digelandang keluar dari kantor itu.
Sesampainya di rumah sakit, di ruang UGD.
“Ma’af pak..., bapak salah satu keluarga dari ibu Nayla?” Tanya si dokter yang kira-kira usianya 40 tahunan.
“Ya, saya suaminya.” Jawab Damar.
“Ma’afkan kami, pak….”
“Kenapa dokter….?”
“Ma’afkan kami. Kami telah berusaha. Tapi istri bapak tak bisa tertolong lagi. Istri bapak meneguk racun serangga secara berlebihan. Semua organ tubuhnya fatal akibat racun ini….”
“Tidak. Dokter bohong…. Dokter pasti bohong!”
Damar pun lekas menghampiri jasad istrinya.
“Kenapa kau lakukan ini, Nay…? Aku minta ma’af…, aku salah. Aku tak memperhatikanmu lagi…. Nay…, bangunlah sayang…. Nay….” Lirih Damar sambil memeluk jasad istrinya yang telah terbujur kaku itu.
Pradipta yang sedari tadi diam hanya bisa menangis. Dia mencoba memberi ketegaran pada suami teman karibnya itu.
“Nayla…, ma’afkan aku….” Lirih Damar. Di tengah malam itu…, dia pun menyesal. Kesibukannya selama ini telah menghilangkan istrinya sendiri….


3.
LEMBARAN WARNA MILIK ARA

Angin lembut seolah-olah menyisir dedaunan. Daun yang menghijau dibuai manja oleh angin. Daun kering hingga kecoklatan, gugur jatuh ke tanah yang dilumuri rerumputan kecil. Corak pepohonan yang seakan-akan hendak menjamah langit, menambah keteduhan karena rindangnya dedaunan. Tak sedikit pula bermacam-macam hewan yang berada dalam lindungan hutan wisata di sebuah kota tempat tinggal Ara. Ya, itulah tempat kenangan tersembunyi bagi dirinya. Kenangan yang tak kan dihapus oleh memory hidupnya.
Terdengar deru motor berwarna merah tua. Dan, motor itu berhenti tepat di hadapan Ara, gadis berparas manis dengan belahan dagunya yang khas.
“Udah nunggu lama, ra?” Tanya Febian, pria yang mengambil pendidikan D2 itu seraya melepaskan helm yang melekat di kepalanya.
“Anu..., ehm..., enggak juga kok. Paling 10 menit Ara di sini...” Jawab Ara tersenyum, tampak gugup.
Febian langsung memarkirkan motor kesayangannya, dan motor itu berjajar sama seperti motor-motor lainnya, berdiri bak siswa yang disetrap gurunya di bawah teriknya sinar matahari.
“Temani Kak Bian makan dong....” Pinta Febian kemudian.
“Kak Bian laper, ya?” Tanya Ara memastikan.
“Iya. Makanya Kak Bian meminta kamu nemenin kakak untuk ke warung makan seberang sna.” Jawab Febian sambil menunjuk sebuah warung makan yang disebelahnya ada 2 buah pelataran. Ara pun tersenyum, mengangguk tanda setuju.
Ara dan Fabian duduk berhadapan. Meja makan mereka menempati urutan pertengahan. Ara yang memilihnya.
“Ara, kamu tidak berubah ya dari dulu? Tetap membiasakan senyum ketika Kak Bian datang, dan Kak Bian suka itu...” ucap Febian usai memesan makanan. Ara tersipu malu, tapi masih dalam diamnya itu.
“Kamu ingat udah berapa lama Kak Bian tak menatap kamu lagi? Menancap ke ulu hati Ara yang paling dalam.
Ara masih diam. Sulit sekali baginya untuk berucap. Terkadang dia benci dengan keadaan seperti itu.
Febian menunggu kata-kata yang hendak keluar dari mulut Ara. Seolah-olah sedang berpikir, Ara akhirnya melontarkan sesuatu.
“Aku rasa...., Ara enggak ketemu Kak Bian selama 4 bulan deh. Bener kan Kak Bian? Eh iya, tampaknya Ara ngerasain sesuatu deh.... Kak Bian potong rambut, ya...? duh gantengnya...” Goda Ara sambil menerbitkan tampang muka lucunya yang membuat Febian malu sendiri.
“Biasa aja, Ara... Kak Bian kan keraj sambil kuliah. Kerja di lingkungan sekolah, masa’ Kak Bian berperawakan sangar dengan rambut yang tak diurus?” Balas Febian sekenanya saja.
Satu jam Febian dan Ara baru keluar dari warung makan itu.
“Sekarang mau ajak Ara kemana, Kak Bian?” Tanya Ara sambil berjalan beriringan dengan Febian.
“Terserah Ara aja. Kak Bian mah maunya ngeluangin waktu seharian ini bersama kamu di tempat ini...” Jawaban yang seketika membuat Ara tersanjung.
“Masa’ sih ? kepingin bersama Ara terus di sini ya? Baguslah! Ara hanya enggak mau ketemu Kak Bian yang bisa dibilang berjumpa di dunia maya aja. 1 kali dalam 3 tahun! Apa enaknya Kak Bian...?” kata Ara pura-pura manyun.
“Dikira bang Toyib apa 1 kali dalam 3 tahun?! Kan kita enggak saling ketemu baru 4 bulan seperti yang Ara bilang tadi. Bukan 1 kali dalam 3 tahun...” Balas Febian sebelum Febian menerusakan kata-katanya, Ara memotong ucapannya.
“Istilah, Kak Bian...” Istilah Ara yang bilang Kak Bian jarang ketemu Ara di sini....” Lalu Febian berucap, mencoba memberi pengertian kepada Ara.
“Ara..., kita kan udah komitmen untuk jaga semua resiko itu. Wajar dong kalau Kak Bian enggak bisa ketemu Ara terus. Ara peham kan?” Ara diam sejenak, dan mulai luluhlah sifat kekanak-kanakan itu dari dirinya.
Di tempat itu, di hutan wisata itu, Ara semakin tak mau melepaskan Febian ketika dia pulang nanti. Ara seolah-olah tak puas untuk menatap Febian yang selama ini jarang ia temui. Ya, mereka mengambil resiko untuk menjalin hubungan jarak jauh. Febian jauh dari Ara. Febian beda provinsi dari dirinya. Maka, tak heran mereka memanfaatkan waktu yang ada untuk saling bertatap muka.
Namun kini..., setelah 1 tahun lebih Ara menjaga hubungannya dengan Febian, pertemuan di tempat itu hanya sanggup meninggalkan kenangan. Febian telah pergi untuk selamnya, pergi dari sisi Ara dan tak akan pernah kembali lagi.
“Kak Bian...m Ara sayang sama Kak Bian. Tersenyumlah untuk Ara di sini ya? Tidur yang tenang di duniamu sana.” Hati Ara membatin, menguraikan luka dan kenangan yang teramat dalam ketika ia kembali menemui tempat itu lagi....


4.
YANG TERKENANG, YANG TERLEPASKAN

Matahari semakin lama semakin menyipitkan sinarnya. Angin menhela, membelai kulitku yang sarat akan kebimbangan hatiku. “Ah! Apakah aku bisa menikmati kembali kehangatan suasanan seperti ini lagi?” Tanya batinku sendiri. Akupun tak tahu.....
“Adis..., mari masuk kerumah, nak...!” ajak ibuku yang memecahkan lamunanku. Cukup lama aku termangu bersandar di belakang rumahku. Aku ingin menatap lama kampung halamanku itu. Padi yang tinggal menunggu masa panennya. Menguning bernas memuaskan hati. Mata air pegunungan yang bening, bebas dari jamahan polusi. Ketawa-ketiwi anak kecil yang doyan melewati pematangan sawah di belakang rumahku tiap harinya. Semua itu mungkin tidak bisa aku rasakan dan cicipi lagi....
Akupun mulai beranjak dari pelataran dan menuju mulut pintu. Hatiku tetap tidak menemui jawaban itu....
Keesokan harinya ...., aku bangun lebih cepat dari biasanya, setelah melaksanakan ibadah sholat subuh, tiba-tiba....
“Adis, kau mau kemana? Apakah kau lupa hari ini kita akan berangkat ikut ayahmu ke kota?” tanya ibuku yang heran akan tingkah lakuku pagi itu.
“Adis mau menemani Zia dulu, bu...?” jawabku seadanya sembari terus menyelusuri lorong-lorong rumah ku yang jauh dari bagus itu.”
Belum sempat ibu mengeluarkan kata-katanya lagi, aku telah menghilang menggalkan ibuku di Ruang Tengah. Beliau dari pukul 04.00 Subuh tadi sudah sibuk bergelayut dengan segala perabotan rumah tangga yang akan dipindahkan ke mobil milik paman Yuan.
“Assalamu’alaikum.” Ucapku ketika tiba dirumah Zia, sahabatku.
“Wa’alaikumsalam” jawab orang didalam sana. Adis tahu betul kalau itu adalah suara milik Zia. Ketika daun pintu berumah panggung itu terbuka,
“Loh? Kok kamu yang menemui aku? Kan seharusnya kau yang datang ke rumahmu. Kamu sudah siap mau berangkat, dis.....?” tanya Zia.
Bukannya menjawab, aku langsung memeluk Zia. Aku masih diam. Aku mulai menangis.
“Kenapa Adis.....?” tanya Zia lagi, sabar.
‘Aku tak mau tinggalin semuanya. Tega tinggalin kamu, tega tinggalin desaku, tega melepaskan yang sebenarnya tak aku inginkan...” ucapku pecah. Dan saat itu, subuh yang semakin lama semakin pergi, membuat Zia terdiam atas jawabanku barusan. Kemudian aku kembali menangis. Agak lama Zia membiarkanku menagisis semuanya. Lalu....
“Kamu tahu Adis, aku juga tak mau kehilangan sahabat seperti kamu. Tapi toh, kamu harus pergi. Ayahmu menginginkan agar kamu menjadi orang yang sukses saat tinggal di kota nanti. Jangan kau turuti aku yang bodoh ini. Kamu cerdas. Dan ayahmu menginginkan agar kamu bisa lebih dari itu....” nasehat Zia semabri mengelus punggungku. Aku masih diam. Mencoba mencerna setiap kata-kata Adis itu.
Hari semakin tinggi. Tepat pukul 07.00 aku telah siap untuk berangkat meninggalkan semua yang ada dihadapanku ini. Semua barang telah dinagkut ke mobil. Aku menghampiri Zia yang berdiri siap untuk melepas kepergianku.
“Zia...., aku tak akan pernah melupakan kampung ini. Kampung yang sejak kecil aku lewati bersama kamu.” Kataku lirih sambil menggenggam tangan Zia yang terasa dingin.
“Aku paham, setelah sampai di kota, tolong kau kabari aku, ya!” pinta Zia tersenyum. Aku mengangguk.
Sawah milik ayah telah terjual ke tangan pemilik yang baru. Meski sawah itu aduhai enaknya dipandang mata, bulir-bulir padi menguning indahnya, tetap itu tak bisa dinikmati lagi. Rumahku yang sedrhana namun membuatku betah tinggal di dalamnya, Tak mungkin ku tempati lagi. Aku harus pergi jauh ke kota. Mengejar cita-cita yang sejak dulu aku impikan. Ya, ayah menhendaki agar kami pindah. Sawah dan rumah yang dijadikan sebagai modal untuk memiliki rumah serta penghidupan yang baru. “Ah...., entah sampai kapan aku bisa miliki lagi harapan itu...” ucap batinku seraya melepas jalan kampungku satu persatu.


5.
PERTEMUAN MISTERI

Jika ada yang bertanya, bagaimana suara roh berjalan, Egi adalah orang yang bibisa menjawabnya. Jika ada yang bertanya, seperti apa wujud roh sebenarnya, Egi bias menjawabnya. Mengapa begitu? Apakah Egi pernah mati dan hidup lagi?
Tidak.
Pemuda berpenampilan sederhana itu belum pernah mengalami mati walau sekejap pun. Bahkan awalnya ia tidak menyadari bahwa ia pernah berbicara dengan orang yang telah lama meninggal. Kesadarannya itu dimulai saat ia mengantarkan tetangganya ke rumah sakit.
Malam itu, pintu rumah Egi diketuk oleh Tante Dwira, kira-kira pukul setengah satu lewat. Egi terpaksa bangun dan membukakan pintu untuk Tante Dwira.
Dengan cemas Tante Dwira yang tinggal di sebelah rumah kontrakan Egi itu berkata, “Egi, Tante minta tolong antarkan Oom ke rumah sakit dong. Kayaknya dia semakin parah tuh…!”
Begitulah hidup bermasyarakat. Karena Egi punya mobil yang biasa dipakai buat angkutan kota, dan kebetulan ada tetangga yang butuh bantuannya, maka Egi pun akhirnya berangkat ke rumah sakit untuk mengantarkan Oom Abdi yang sedang sakit. Entah sakit apa, yang jelas wajahnya makin pucat dan panas badannya sangat tinggi.
Yang ikut ke rumah sakit bukan hanya Tante Dwira, tapi juga Roni, adik Tante Dwira yang masih sekolah di STM. Tapi waktu Oom Abdi dibawa ke salah satu ruang dengan kereta dorong, Egi tidak mengikutinya. Hanya Tante Dwira dan Roni yang mengikuti ke ruangan pemeriksaan. Egi menunggu tak jauh dari pintu gerbang rumah sakit.
Suasana malam itu cukup sepi. Rumah sakit menimbulkan kesan menyeramkan karena bau obat dan bau-bauan lain yang tak dimengerti Egi. Hanya saja, karena di bangku itu ada tiga orang yang sedang menunggu keluarganya yang dirawat di situ, maka Egi tidak begitu takut.
Tiga orang itu yang masih melek Cuma satu. Yang dua tidur meringkuk di atas bangku panjang. Di bawah bangku itu ada termos air panas dan gelas, serta rantang yang mungkin berisi makanan untuk santap malam orang tersebut.
Lelaki yang masih melek itu menghisap rokok. Duduk dengan salah satu kaki dinaikkan ke bangku, santai. Karena cahaya lampu kurang terang, maka Egi tidak bisa melihat jelas wajah orang tersebut. Egi tak berani menyapa, takut mengganggu ketenangan orang itu. Siapa tahu dia sedang sedih dan ingin merenungi nasib familinya yang mondok di situ, maka teguran dan sapaan Egi hanya akan menghadirkan kedongkolan saja baginya. Karena itu Egi tidak menyapanya. Egi pun ikut merokok.
Dari tempat Egi duduk, tampak ruangan yang dipakai memeriksa Oom Abdi. Egi tahu, tadi Oom Abdi dan perawat masuk ke situ, juga Tante Dwira dan Roni. Tak heran jika Egi sesekali menatap pintu masuk ruangan itu dengan harapan siapa tahu Tante Dwira atau Roni segera keluar menemaninya duduk di bangku tersebut. Ternyata sampai setengah jam mereka belum keluar juga.
Tapi beberapa saat Egi melihat dari arah pintu depan atau pintu gerbang yang dipakai masuk oleh umum ke rumah sakit itu, datanglah seorang lelaki yang usianya kira-kira tiga tahun lebih tua dari Egi. Lelaki itu dating sendirian. Jalannya tidak terlau cepat, namun juga tidak terlalu lamban. Matanya memandang ke sana-sini, seakan mencari sesuatu yang ingin ia temukan secepatnya. Lelaki itu mengenakan jaket levis yang buntung tangannya, jadi seperti rompi. Mengenakan topi hitam kecoklat-coklatan, mengenakan sepatu kitch lusuh warna putih kusam.
Semakin dekat semakin jelas bagi Egi, bahwa lelaki itu bertampang kasar. Tulang-tulang pipinya tampak bertonjolan. Keras. Kumis dan jenggotnya habis dicukur. Badannya cukup kekar, terbukti dari lengannya yang besar. Bahkan pada lengannya terdapat tato, yang kiri tato gambar naga menyembur api, yang kanan tato gambar keris berdiri di atas tengkorak manusia.
Gambar tato itu terlihat jelas sekali oleh Egi sebab lelaki itu menghampiri Egi dan bertanya, “Ruang dokter jaga di sebelah mana, Mas?!”
“Wah, saya nggak tahu, Bang,” jawab Egi. “Saya Cuma mengantarkan tetangga yang sedang sakit.”
Lelaki bertubuh kekar itu duduk sambil manggut-manggut, matanya menatap sekeliling. Sorot mata itu tidak berkesan galak, hanya berkesan bingung. Sepertinya ia harus cepat-cepat menuju ke ruang yang dipakai kantor oleh para dokter yang malam itu bertugas menangani beberapa kasus di rumah sakit te3rsebut.
“Lalu…,” orang itu bertanya lagi, “Kalau kamar mayat arahnya ke mana dari sini, Mas?”
“Kamar mayat…? O, kalau nggak salah jalanan ini lurus saja, lalu belok ke kiri dan lurus sampai pol. Nah, di situ adanya kamar mayat.”
“Ooo…,” lelaki itu mengangguk-angguk. Kemudian ia segera pergi sambil berkata, “Makasih ya…!”
“Sama-sama, Bang…!” jawab Egi.
Ada sesuatu yang aneh ketika lelaki itu pergi menuju jalan yang ditunjukkan Egi. Sesuatu yang aneh itu belum dimengerti Egi, dan ia belum sempat memikirkannya, karena lelaki yang duduk menghisap rokok itu segera mendekatinya.”
“Situ sendirian, Dik?”
“Iya, Pak. Bapak juga sendirian?”
“Sama adik saya. Tuh yang lagi tidur.”
Sebenarnya masih ada yang ingin ditanyakan Egi kepada lelaki itu, tetapi dari arah depan terdengar suara sedikit gaduh. Banyak orang masuk melalui pintu gerbang dengan terburu-buru. Oh, rupanya ada korban kecelakaan yang dibawa ke situ.
Lelaki yang merokok itu mendekati kerumunan orang, sedangkan Egi ikut-ikutan mendekati mereka, ingin tahu apa yang telah terjadi sehingga sejumlah tujuh orang saling tergagap-gagap. Mereka menggotong korban, lalu meletakkan ke kereta dorong. Ada yang rebut mencari dokter, ada yang menanyakan tentang perawat, bahkan ada Satpam yang bergegas ke gang sebelah kiri. Korban itu belum didorong untuk dibawa ke suatu tempat.
“Jal… Jal, bertahanlah. Jal…!” Kata seseorang kepada korban dengan cemas. Tetapi tak berapa lama, korban menghembuskan napas yang terakhir. Orang itu berseru, “Jal…?! Jali…?!”
Lalu dua orang yang ada di sampingnya menggumam dengan suara penuh duka, “Innalillahi wainna Illahi roji’un…!”
“Jal… oh, Jal… kamu mendahului kami, Jal…” orang yang tadi menyuruh korban bertahan itu menangis, lalu dipeluk temannya.
Egi belum berani terlalu dekat,karena ngeri melihat darah. Ia bertanya kepada salah satu orang rombongan yang sebaya dengannya.
“Kenapa dia? Tabrakan ya?”
“Bukan. Berkelahi. Biasa sesame preman kalau kalah ya begitu. Pasti ada yang mati salah satu. Bang Jali dibacok oleh lawanya dengan clurit dan lambungnya pun robek. Ia kena empat kali bacokan. Tapi ia termasuk kuat loh, sampai sekarang baru meninggal. Padahal kejadiannya sudah tiga jam yang lalu....”
”Ooo... preman.....” gumam Egi.
Mendadak Egi terkejut setelah memperhatikan jaket levis yang dikenakan oleh korban. Ego mendekat untuk mempertegas penglihatannya. Dan ia nyaris terpekik begitu melihat gambar tato di lengan korban. Tato gambar keris berdiri di atas kepala manusia. Wajah korban pun membuat Egi terbelalak bengong. Sepatu korban dari jenis kitch putih kusam. Badan korban kekar. Jaket levis itu buntung, seperti rompi.
”Bawa saja ke kamar mayat, langsung....” ujar seorang perawat kepada temannya yang sama-sama baru datang.
Ketika korban dibawa ke kamar mayat melalui depan Egi, jantung Egi semakin berdetak cepat, karena Egi melihat sisi lengan sebelahnya lagi yang terdapat tato. Dan gambar tato ituadalah gambar naga menyemburkan api.
Maka, mulailah Egi merinding sekujur tubuhnya karena ingat seorang lelaki yang tadi menemuinya dan menanyakan arah jalan menuju kamar mayat. Egi menjadi lemas. Ia duduk di bangku semula sambil menggumam dalam hati, ”Kalau begitu... roh preman yang mati itu sudah mendahului jasadnya untuk sampai ke kamar mayat...!”
Terbengong Egi dengan wajah tegang membuat lelaki yang tadi merokok dan yang adiknya yang sedang tidur itu berkata kepada Egi, ”Kenapa pucat, Dik? Takut melihat orang mati, ya?”
Egi bingung menjelaskannya. Bibirnya gemetar dan gemuruh di dalam dadanya membuat ia sukar bernafas. Orang lelaki itu menjadi cemas melihat Egi sepucat itu.
”Dik, Dik... kenapa kamu?”
”Eh... hmmm... ah...!”
”Sudahlah tidak perlu takut. Kita semua nantinya juga akan digiring ke kamar mayat, atau mati, seperti preman tadi. Jangan membayangkan kematian kalau takut mati.”
”Sssa... saya... saya bukan takut mati, tap... tapi orang yang tadi bicara dengan saya itu... itu adalah roh preman yang baru saja mati, Pak”
”Hah...?!” Maksudnya bagaimana sih?!” Orang itu tampak tegang.
”Tadi... tadi Bapak melihat saya bicara denganlelaki berjaket buntung,kan? Yang menanyakan arah kamar mayat tadi loh....”
”Lelaki yang mana?” Orang itu bingung. ”Justru terus terang aja, saya tadi merasa takut juga ketika melihat situ bicara sendiri berkata ’sama-sama, Bang’. Saya takut loh, Dik. Betul. Soalnya saya tidak melihat siapa-siapa di sebelah situ, tapi kok situ ngomong sendiri. Saya memang mendengar situ tadi menunjukkan jalan menuju kamar mayat, tapi... tidak ada orang yang situ ajak bicara.”
"Ah, ada! Orangnya yang berpakaian dan berpotonganseperti preman yang barusan mati itu, Pak."
"Nggak ada! Makanya situ lalu saya ajak bicara, soalnya saya mau tanya, situ habis ngomong sama siapa?"
Sekali lagi Egi terbengong dengan jantung makin keras berdetaknya, sehingga terasa seperti tidak berdetak lagi. Makin lemas Egi mendengar pengakuan bapak itu. Kemudian tanpa disadari dari kedua kakinya gemetaran dan wajahnya makin pucat. Bapak itu sendiri mendesis dan menjadi merinding membayangkan cerita Egi.
Maka mulailah Egi menyadari adanya keanehan yang ia rasakan ketika roh preman tadi pergi menuju Aroma bau itu itu masih membekas di hidung Egi, sehingga Egi tak henti-hentinya menjadi merinding dan berdebar-debar.
***

Itu pengalaman pertama Egi melihat roh dan mengetahui ciri-ciri lainnya, juga ciri-ciri bau yang ditimbulkan oleh roh tersebut. Memang sejak saat itu, Egi berharap untuk tidak lagi-lagi bertemu dengan roh dan tidak lagi-lagi mengalami peristiwa yang menakutkan itu.
Tetapi di luar kehendaknya, peristiwa itu terulang kembali antara dua bulan kemudian. Pada saat itu, Egi sedang menuju pulang setelah seharian sibuk mencari penumpang untuk mobil angkutannya. Waktu itu kira-kira pukul sebelas lewat sedikit. Hari hujan. Tidak terlalu deras. Tapi juga tidak bisa dikatakan hanya gerimis saja. Penumpang tidak ada. Mobil kosong dari terminal tempatnya mangkal. Egi sendiri sudah bertekad untuk tidak mencari penumpang. Tapi kalau ada penumpang yang rumahnya satu arah dengan rumah kontrakan Egi, apa boleh buat. Akan diambilnya juga.
Kebetulan sebelum melintasi jembatan, ada seorang perempuan yang menyetop mobilnya Egi. Perempuan itu tidak memakai payung dan hanya berteduh dengan selembar koran.
"Ke arah mana, Mbak?" tanya Egi kepada perempuan muda itu.
"Lewat Jalan Merdeka, nggak?"
"Lewat. Ayo deh...!"
Perempuan muda itu naik, duduk di bangku depan, sebelah kiri Egi. Wajahnya lumayan cantik. Bodinya juga bolehlah. Egi sempat berpikr jahi. Iseng-iseng ia bertanya.
"Dari mana kok malam-malam begini baru pulang, Mbak?"
"Dari rumah teman. Sebenarnya mau pulang dari tadi, eh... hujan. Ditunggu-tunggu nggak reda juga, akhirnya saya nekat saja pulang. Jadi basah deh pakaian saya."
Sambil berkata begitu, perempuan itu menepis-nepiskan gaunnya yang basah karena butiran air hujan. Egi sesekali melirik dengan hati berdebar-debar. Iseng-iseng lagi Egi bertanya.
"Mau nggak pakai saputangan saya buat ngeringin rambut? Masih bersih kok."
"Mau deh. Pinjam dulu, ya...?"
Perempuan itu mengeringkan rambutnya yang panjang sepundak dengan saputangan pemberian Egi. Hati Egi semakin girang, karena dengan begitu dia mempunyai peluang untuk mengenal perempuan itu lebih dekat lagi. Setidaknya malam ini juga mungkin perempuan itu bisa diajak kemana saja.
Tapi sayangnya, ada penumpang lain yang menyetop mobil Egi. Ia adalah seorang lelaki berpakaian Satpam. Ia mengenakan payung plastik warna merah. Ia berdiri di depan pabrik ban sepeda. Mungkin Satpam dari pabrik tersebut.
Sebenarnya Egi tidak ingin mengambil penumpang baru itu. Sebab jika ia mengambil penumpang baru, maka keberadaanya bersama perempuan yang duduk di sebelahnya itu akan terganggu. Paling tidak bicara pun harus dibatasi jika ada penumpang lain. Namun perempuan itu berkata,
"Tuh, ada penumpang lagi kan? Beruntung juga kalau situ bawa penumpang seperti saya. Ada saja penumpang lain yang nyetop mobil situ, Bang."
"Iya, ya...!"
Karena sudah terlanjur ngomong begitu, maka Egi pun berhenti menanyakan kepada penumpang tersebut apakah satu jurusan dengannya atau tidak. Ternyata Satpam itu satu jurusan. Maka, terpaksa Egi membiarkan Satpam itu naik di jok belakang. Satpam itu duduk tepat di belakang Egi. Wah, makin sulit Egi mengembangkan percakapan dengan perempuan tersebut.
Bahkan kini Satpam itu yang mengajaknya bicara, "Habis ini balik lagi ke arah tadi nggak, Bang?"
"Enggak tuh, Pak. Saya mau pulang kok."
"Ooo..." Satpam itu menggumam dengan nada sedikit kecewa.
"Bapak harus kembali lagi ke tempat tadi ya, Pak?" tanya perempuan itu.
"Iya, Neng. Harus tugas."
"Ikut saja mobil dari arah Bima Sakti, Pak. Masih banyak kok. Baru jam segini. Biasanya sampai satu saja masih ada kendaraan yang lewat sana."
Egi menimpali dengan bercanda, "Hujan-hujan begino kok masih tugas sih, Pak? Pulang saja, tidur di rumah. Kan hangat tuh!"
"Wah, saya tugas sama pulang rumah sama saja. Tetap tinggal di sana kok, Bang."
Beberapa saat kemudian, perempuan itu turun. Egi berhenti tepat di depan rumahnya. Tak berapa lama kemudian, Satpam itu juga turun. Dan Egi pun nyelonong ke rumahnya dengan perasaan agak kecewa, karena gagal mengadakan pendekatan dengan perempuan muda itu gara-gara ada Satpam di belakangnya.
Namun, ketika Egi mau memasukkanmobil ke halaman rumahnya, ia menengok ke belakang untuk mundur sedikit. Dan pada saat itu ia melihat payung dan topi Satpam itu tertinggal di jok belakang.
"Wah, bikin kerjaan apa tuh Satpam...!" gerutu Egi. Sebenarnya ia tidak ingin mengembalikan payung dan topi, namun karena rasa kasihan, maka ia terpaksa kembali lagi ke pabrik ban sepeda. Mula-mulanya Egi mencari-cari Satpam yang tadi turun di salah satu gang. Karena ditengok-tengok Satpam itu kelihatan, mungkin ia sudah kembali lagi ke tempat kerjanya, maka Egi pun segera meluncur ke tempat Satpam tadi naik.
Di sana ada pos jaga untuk masuk ke pabrik ban sepeda. Egi terpaksa turun dari mobil dan menemui dua orang Satpam yang sedang main catur.
"Pak, saya mau mengembalikan payung dan topi." Kata Egi.
"Payungnya siapa sih?"
"Nggak tahu. Tadi ada petugas Satpam yang naik mobil saya dan payungnya tertinggal bersama topinya ini. Naiknya dari jalanan depan itu, Pak. Apakah dia bekerja di sini?"
"Coba lihat," kata Satpam yang kurus. Ia memeriksa payung dan topi. Sementara itu Satpam yang gemuk berbisik, namun sempat terdengar Egi.
"Kayaknya payungnya Galih, ya?"
"Iya. Dan topi ini... oh, benar. Ini topinya Galih. Lihat, di dalamnya ada tulisan namanya kan?"
Kedua Satpam itu saling pandang. Agak tegang juga. Lalu mereka sama-sama menatap Egi dengan penuh curiga. Bahkan yang kurus berkata, "Ini payungnya teman saya. Juga, topi ini milik teman saya yang bernama Galih. Kamu nyuri di mana, hah?!"
"Loh, saya bukan nyuri, Pak? Saya menemukan barang-barang ini di belakang mobil saya. Makanya saya pulangkan kemari sebab pemilik itu naiknya dari jalanan depan itu. Dan dia mengaku bekerja di sini?"
"Tidak mungkin. Pasti kamu habis mencuri di rumahnya Galih. Ngaju saja!"
"Wah, Bapak ini tidak tahu terima kasih. Saya sudah capek-capek mengembalikan barang-barang itu kok malah dikatakan habis mencuri. Yang benar aja, Pak..." kata Egi sewot.
Satpam yang gemuk lebih sadar. Ia berkata, "Kapan kamu membawa penumpang yang mempunyai payung dan topi ini, Bang?"
"Tadi, Pak! Belum ada setengah jam!"
Satpam itu menatap temannya yang kurus. Agak aneh cara mereka saling memandang. Egi curiga juga. Lalu Satpam yang gemuk berkata, "Begini, Bang... Sebenarnya kami curiga juga, dan tidak percaya kalau Galih tadi naik mobil Abang. Sebab Galih itu sudah meninggal...."
"Hahhh...?!" kontan wajah Egi pucat pasi dan bibir serta kakinya gemetaran.
"Galih telah meninggal tiga hari yang lalu. Dia mati akibat digorok batang lehernya oleh lelaki yang menjadi simpanan istrinya."
Egi tidak bisa bicara apa-apa. Egi hanya diam bagai patung dan berusaha bisa bernafas, karena nafasnya terasa sesak akibat detakan jantung begitu kuat.
Sejak peristiwa Satpam Galih itu, Egi bertanya-tanya dalam hati, mengapa ia belakangan ini sering menemui hal-hal yang bersifat misterius? Mengapa dulu tidak pernah menjumpai hal seperti itu? Apakah setiap orang yang sudah mencapai usia dua puluh tujuh tahun pasti menjumpai hal-hal yang misterius? ENTAHLAH....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar